Pemerintah Republik Indonesia-Republik Korea berkolaborasi untuk memulihkan lahan gambut, aset yang diakui dunia sebagai benteng terdepan perlindungan bencana global perubahan iklim.
Kolaborasi Indonesia-Korea makin erat dengan mulai berjalannya proyek kerja sama pemulihan lahan gambut bekas kebakaran di Kabupaten Tanjung Jabung Timur dan Kabupaten Muaro Jambi. Proyek itu diharapkan bisa memulihkan kawasan hutan lindung gambut Londerang, seluas 12.000 hektare yang tercabik-cabik akibat pembangunan kanal yang tidak sesuai.
Direktur Pengendalian Kerusakan Gambut Kementerian Lingkungan Hidup dan Kehutanan Sri Parwati Murwani Budi Susanti menegaskan pentingnya kolaborasi Indonesia-Korea.
“Kerja sama Indonesia-Korea ini diharapkan bisa mendukung restorasi gambut bukan saja di areal konservasi tapi juga di lahan masyarakat,” katanya saat peresmian kantor proyek kerja sama tersebut, Rabu (24/3/2021).
Peresmian kantor proyek tersebut dilakukan secara secara tatap muka dan virtual dan dihadiri oleh para pejabat lingkup Kementerian Lingkungan Hidup dan Kehutanan (KLHK), Pemerintah Provinsi Jambi, serta perwakilan dari Korea Forest Service (KFS) dan perwakilan dari Kedutaan Besar Korea di Indonesia.
Peresmian kantor itu juga menandai dimulainya pelaksanaan proyek sekaligus menandai 10 tahun kontribusi KIFC terhadap kerja sama kehutanan antara Indonesia dan Korea yang telah terjalin dalam satu dekade terakhir.
Proyek pemulihan lahan gambut ini akan menelan biaya sebesar 3 juta dolar AS yang seluruhnya berupa hibah dari KFS. Direktorat Pengendalian Kerusakan Gambut KLHK menjadi executing agency dari proyek ini. Proyek akan berlangsung sampai akhir tahun 2022.
Lokasi proyek berada di kawasan Hutan Lindung Gambut (HLG) Londerang yang merupakan bagian dari Kawasan Hidrologis Gambut (KHG) Mendahara-Batanghari di Kabupaten Tanjung Jabung Timur dan Kabupaten Muaro Jambi.
Bentang alam tersebut didominasi oleh ekosistem lahan gambut yang saat ini kondisinya cukup memprihatinkan, sebagai akibat dari pembangunan drainase untuk kegiatan pertanian dan perkebunan
Dengan telah diresmikannya kantor proyek ini, kegiatan proyek akan segera dimulai, yang akan diawali dengan survei lapangan untuk kegiatan-kegiatan Rewetting dan Replanting; Revitalisasi masyarakat di 10 desa sekitar lokasi proyek; dan Pembangunan mini education center.
Survei yang dilaksanakan akan menjadi bahan penting dalam menyusun rancangan detil kegiatan lapangan
Pusat Kegiatan
Menurut Sri Parwati, kantor yang baru diresmikan akan menjadi pusat pelaksanaan proyek baik secara teknis, administrasi maupun operasi. Kantor tersebut, juga diharapkan bisa berperan sebagai pusat kegiatan restorasi lahan gambut terutama di HLG Londerang.
“Adanya kantor ini diharapkan bisa menjadi wahana untuk saling berkoordinasi, berbagi informasi, dan berinteraksi antara semua pihak untuk bersama-sama berkolaborasi merestorasi gambut,” katanya.
Sri Parwati juga berharap kantor proyek ini akan bisa menjadi pusat aktivitas untuk komunikasi dengan publik dan media massa dan penguatan jejaring restorasi gambut.
“Kantor ini diharapkan bisa menjadi eco education center bagi masyarakat untuk pengelolaan gambut berkelanjutan,” katanya.
Sri Parwati berharap proyek bisa berjalan dengan baik dan tepat waktu sampai masa berakhirnya proyek di tahun 2022.
Bilateral
Proyek kerja sama Indonesia-Korea untuk memulihkan lahan gambut di hutan lindung Londerang diawali keprihatinan kedua Negara atas terjadinya beberapa kali musibah kebakaran hutan dan lahan (karhutla) di Indonesia beberapa tahun terakhir, terutama di lahan gambut. Karhutla gambut menimbulkan asap tebal dan berdampak negatif dari sisi ekonomi, kesehatan, dan lingkungan.
Kondisi tersebut mendorong Pemerintah Korea untuk turut berkontribusi. Niatan ini mendapat sambutan baik dari Pemerintah Indonesia yang diwujudkan melalui komitmen yang dibangun oleh kedua negara saat kunjungan Presiden Joko Widodo ke Korea, Mei 2016.
Setelah melalui proses sesuai dengan ketentuan proyek kerja sama bilateral, pada akhir tahun 2020 KLHK dan KFS menandatangani naskah kerjasama hibah (Letter of Arrangement) tentang ‘Restorasi Lahan Gambut Bekas Terbakar di Jambi’.
Naskah kerja sama tersebut ditandatangani pada 31 Agustus 2020 di Jakarta oleh Direktur Jenderal Pengendalian Pencemaran dan Kerusakan Lingkungan (PPKL) mewakili KLHK, dan pada 9 September 2020, di Daejeon, Korea oleh Director General International Affairs Bureau mewakili KFS.
Director General International Affairs Bureau KFS Park Eunsik menyatakan dampak buruk karhutla tidak saja dirasakan secara regional tapi juga internasional. Karhutla memicu kabut asap sekaligus melepas emisi gas rumah kaca (GRK) yang bisa memicu bencana global perubahan iklim.
“Kebakaran gambut menjadi masalah lingkungan yang umum bagi masyarakat global. Oleh karena itu dunia sedang mencari cara untuk mempromosikan restorasi yang efektif dan pengelolaan gambut yang berkelanjutan,” katanya.
Park yakin inisiatif yang saat ini dilaksanakan Indonesia-Korea akan menjadi menarik perhatian dunia dan bisa menjadi contoh bagaimana dua Negara berkolaborasi untuk menjaga gambut, aset yang tak ternilai harganya bagi masyarakat internasional.
“Gambut sangat berharga bagi umat manusia. Tapi di sisi lain pembangunan pertanian dan industri lainnya meningkatkan tekanan terhadap gambut. Ini mengapa kerja sama Indonesia-Korea sangat penting sebagai upaya bersama dalam merestorasi dan mengkonservasi lahan gambut,” kata Park.
Park berharap proyek bisa mencapai keberhasilan dan lahan gambut tropis Indonesia bisa kembali berperan sebagai paru-paru dunia khususnya dalam penyerapan GRK.
Direktur Korea-Indonesia Forest Center (KIFC) Lee Sung-gil memastikan, pandemi yang saat ini terjadi tidak akan menghalangi upaya untuk mendapat hasil yang terbaik dalam pelaksanaan proyek kerja sama Indonesia-Korea.
“Meskipun dalam kondisi pandemi, kita tetap melakukan yang terbaik untuk keberhasilan proyek ini, dengan tetap menerapkan protokol kesehatan,” kata
Lee juga menekankan soal pentingnya pengelolaan gambut berkelanjutan dalam pengendalian perubahan iklim. Menurut dia, gambut adalah solusi dari perubahan iklim global. “Gambut adalah aset bersama. Aset ini harus bisa dimanfaatkan dengan baik,” katanya