Tradisi suku Toraja terkenal dengan keunikananya. Hal ini lantas membuat Toraja menjadi salah satu tujuan wisata budaya yang tersohor hingga mancanegara.
Suku Toraja di Sulawesi selatan mendiami Kabupaten Tana Toraja dan Toraja Utara. Suku Toraja memiliki sejumlah tradisi unik yang menarik untuk disaksikan.
Salah satu tradisi yang cukup populer adalah Rambu Solo, atau upacara adat kematian suku Toraja. Namun, ada banyak tradisi suku Toraja lainnya yang tidak kalah unik.
Berikut 8 tradisi unik suku Toraja yang dirangkum detikSulsel dari berbagai sumber.
1. Rambu Solo
Rambu Solo adalah tradisi upacara kematian suku Toraja. Dewan Masyarakat Adat Nusantara, Eric Crystal Ranteallo mengatakan Rambu Solo merupakan ritual sakral bagi masyarakat Toraja dan telah dilakukan oleh Aluk Todolo, atau nenek moyang dari suku Toraja.
"Orang Toraja itu sangat menghargai keluarganya yang telah berpulang. Itu nomor satu di Toraja, sebagai penghormatan untuk terakhir kali. Ini sudah dilakukan sejak leluhur kami Aluk Todolo," jelas Eric Crystal Ranteallo kepada detikSulsel, Jumat (10/6/2022).
Rambu Solo diyakini sebagai upacara untuk menyempurnakan kematian seseorang.
Masyarakat suku Toraja meyakini bahwa mati adalah suatu proses perubahan status dari manusia fisik di dunia menjadi roh di alam gaib. Sehingga, selama rangkaian ritual Rambu Solo belum dilakukan hingga rampung, maka sang mayat akan diperlakukan sebagaimana orang sakit.
Ritual rambu solo membutuhkan banyak biaya karena harus mengorbankan kerbau. Sehingga jika biaya keluarga belum mencukupi maka mayat akan terus disimpan hingga mampu menggelar Rambu Solo.
Rambu Solo terdiri atas beberapa ritual adat yang dilakukan secara runtut oleh masyarakat suku Toraja. Ritual dalam Rambu Solo' terdiri atas Mappassulu', Mangriu' Batu, Ma'popengkaloa, Ma'pasonglo, Mantanu Tedong, dan Mapasilaga Tedong.
2. Rambu Tuka'
Berbeda dengan Rambu Solo', Rambu Tuka' atau Rampe Mata Allo merupakan ritual upacara suka cita atau syukuran masyarakat Toraja atas syukuran rumah, hasil panen yang baik, dan kegembiraan lainnya.
Melansir laman resmi Direktorat Warisan dan Diplomasi Budaya Kementerian Pendidikan dan Kebudayaan (Kemdikbud), upacara Rambu Tuka' diyakini telah berkembang sejak zaman purbakala beriringan dengan kedatangan manusia pertama di muka bumi. Hal ini karena Rambu Tuka adalah bagian yang integral dengan sistem kepercayaan masyarakat Toraja kuno yang disebut aluk todolo.
Upacara Rambu Tuka' digelar di sebelah timur rumah, barung-barung atau tongkonan. Serta dilaksanakan ketika matahari menanjak.
Ada beberapa jenis Rambu Tuka' dalam tradisi suku Toraja. Berikut jenis-jenis Rambu Tuka' mulai dari tingkat terendah hingga tertinggi.
Kapuran Pangan, menyuguhkan sirih pinang
Piong Salampa, menyuguhkan lemang bambu
Ma'pallin atau Malingka Biang, upacara persembahan seekor ayam sebagai pengakuan kekurangan
Ma'tadoran atau Menammu, persembahan satu ekor babi,
Ma'pakande Deata Dao Banua, persembahan seekor babi sebagai hidangan bagi seluruh keluarga yang hadir
Ma'pakande Deata Diong Padang, upacara kurban persembahan kepada deata di halaman rumah. Seekor babi dikurbankan dijadikan lauk pauk untuk sanak keluarga dan sisanya dibagi-bagikan kepada masyarakat
Massura' Tallang, upacara yang dilaksanakan setelah semua upacara adat yang disebutkan di atas
Merok, upacara persembahan tertinggi yang ditujukan kepada Puang Matua. Kurban persembahannya adalah kerbau, babi, dan ayam.
3. Ma'lettoan
Melansir jurnal Universitas Negeri Makassar (UNM) yang berjudul 'Ritual Maklettoan Bai dalam Acara Mangrara Banua di Desa Lolai Kabupaten Toraja Utara', tradisi Ma'lettoan merupakan salah satu ritual dalam rangkaian Rambu Tuka.
Dalam tradisi ini, orang-orang mengarak sebuah rumah-rumahan adat tongkonan yang berisi babi. Hal ini dimaksudkan sebagai bentuk rasa syukur dan persaudaraan.
Makna tradisi Ma'Lettoan ini adalah sebagai bentuk ungkapan rasa syukur kepada Sang Pencipta atas keberhasilan yang sudah diraih. Biasanya ketika seseorang selesai membangun rumah baru.
Selain itu, tradisi ini juga berfungsi untuk mempererat tali silaturahmi antar keluarga. Hal ini bisa dilihat dari keikutsertaan berbagai keluarga dalam prosesi ritual Ma'Lettoa ini.
Adapun tahapan tradisi Ma'lettoan yakni Digaragan Lettoan atau pembuatan lettoan (kotak yang menyerupai Tongkonan), kemudian babi dibulle (diarak), dirempun (dikumpulkan), lalu ditunu (disembelih).
4. Ma'nene
Melansir jurnal Universitas Muhammadiyah yang berjudul 'Tradisi Ma'nene sebagai Warisan Budaya Etnis Toraja', Ma'nene merupakan ritual membersihkan serta mengganti pakaian mayat para leluhur yang sudah meninggal ratusan tahun. Ritual ini dilakukan setelah masa panen berlangsung, kira-kira di bulan
Agustus akhir.
Ritual Ma'nene berlangsung peti-peti mati para leluhur dikeluarkan dari makam-makam liang batu, kemudian diletakkan di tempat upacara. Setelah jasad dikeluarkan dari kuburan, jasad itu dibersihkan.
Pakaian yang dikenakan jasad para leluhur itu diganti dengan kain atau pakaian yang baru. Biasanya ritual ini dilakukan serempak satu keluarga atau bahkan satu desa, sehingga acaranya pun berlangsung cukup panjang.
Rangkaian ritual Ma'nene kemudian ditutup dengan berkumpulnya anggota keluarga di rumah adat Tongkonan untuk beribadah bersama.
Upacara Ma'nene ini dianggap sebagai wujud kecintaan masyarakat suku Toraja terhadap para leluhur dan kerabat yang sudah meninggal dunia. Melalui ritual ini masyarakat suku Toraja berharap arwah leluhur akan menjaga mereka dari segala gangguan jahat, hama tanaman, dan juga kesialan hidup.
5. Rampanan Kapa'
Melansir laman Warisan Budaya Tak Benda Kemdikbud RI, Rampanan Kapa' merupakan pernikahan adat pada suku Toraja. Pernikahan adat ini merupakan aspek yang dianggap sakral dalam ajaran aluk todolo atau leluhur suku Toraja.
Rampanan Kapa' diyakini sebagai pangkal dari berkembangnya ma'lolo tau (hubungan sesama manusia). Dalam kepercayaan aluk todolo, datuk La Ukku' adalah moyang pertama manusia yang dinikahkan oleh Puang Matua dengan seorang lelaki yang bernama To Tabang Tua.
Pernikahan ini kemudian yang dianggap sebagai pernikahan pertama dalam sejarah manusia suku Toraja. Pernikahan ini disaksikan langsung oleh Puang Matua, yang kemudian dikenal dengan sebutan Rampanan Kapa'.
Tradisi Rampanan Kapa' merupakan upacara pernikahan secara adat yang pelaksanannya tidak dilakukan oleh penghulu agama melainkan pimpinan adat. Penghulu agama hanya mendampingi pemangku adat dalam men-sahkan pernikahan berdasarkan ketentuan tana' (mas kawin) seseorang.
Tidak ada kurban dalam upacara Rampanan Kapa'. Hewan yang dihidangkan seperti babi dan ayam hanya sebagai hidangan berdasarkan ketentuan adat, terutama aturan pembagian daging atau manta bagi pemangku adat yang terlibat.
Waktu pelaksanaan Rampanan Kapa' dilakukan antara waktu penyelenggaran rambu tuka pada pagi hari dan rambu solo pada waktu sore hari. Rampanan Kapa' mengandung aturan-aturan yang dinamakan ada'na rampanan kapa' (hukum pernikahan adat) yang telah disesuaikan sesuai agama Kristen yang dianut oleh masyarakat Toraja pada umumnya.
6. Sisemba
Melansir laman resmi Direktorat Warisan dan Diplomasi Budaya Kementerian Pendidikan dan Kebudayaan (Kemdikbud), Sisemba merupakan olahraga kaki tradisional yang telah dilaksanakan oleh masyarakat Toraja sejak lama. Tradisi ini biasanya dilakukan sebagai bagian dari ritual syukuran atau Rambu Tuka' dan ritual kematian Rambu Solo.
Permainan ini dimaksudkan sebagai sarana hiburan setelah acara ritual selesai dilakukan. Selain itu, permainan ini biasanya dilakukan pada akhir Juni hingga awal Agustus karena saat itu masyarakat Toraja biasanya panen padi.
Permainan ini terkadang berlangsung keras hingga terjadi patah tulang bahkan bisa mengancam nyawa. Tetapi kecelakaan itu diterima sebagai resiko permainan bukan sebagai bibit permusuhan.
Adapun Makna yang ingin dibangun dalam permainan Sisemba adalah persaudaraan dan kemampuan menerima resiko hidup sekeras apapun. Adapun makna yang ingin dibangun dalam permainan Sisemba yaitu persaudaraan dan kemampuan menerima resiko hidup sekeras apapun.
Permainan ini dilakukan dengan tiga cara, yakni:
Simanuk atau satu lawan satu
Siduanan, dua lawan dua,
Sikambanan, kelompok lawan kelompok.
7. Ma'bugi
Ma'bugi adalah ritual tolak bala yang dilakukan masyarakat suku Toraja. Tradisi ini merupakan pengaruh dari suku Bugis ketika menguasai Tana Toraja.
Usai perang, Tana Toraja mendapatkan wabah penyakit, kelaparan, dan kemarau panjang. Masyarakat meyakini bahwa musibah ini adalah murka penguasa alam karena masyarakat Toraja telah tercemar dengan budaya luar seperti gemar berjudi.
Oleh karena itu, seluruh masyarakat keluar rumah menyanyikan lagu ritual, memasang umbul-umbul dari daun ijuk muda, tanaman berhias merah dan kuning yang dipasang di sepanjang jalan sebagai simbol permohonan kepada dewata. Ritual ini kemudian disebut Ma'bugi.
Ritual Ma'bugi dilakukan ketika berlangsung kekacauan sosial dalam masyarakat termasuk penyakit yang menyerang hewan ternak dan tumbuhan. Ma'bugi dipusatkan di Tongkonan pemimpin adat dan seluruh biaya ditanggung oleh keluarga Tongkonan.
8. Mangrara Banua
Mangrara Banua adalah tradisi dilakukan suku Toraja sebagai selamatan atas selesainya pembuatan banua barung-barung atau Tongkonan. Tradisi Mangrara Banua telah dilakukan oleh masyarakat Toraja sejak lama beriringan dengan pembangunan rumah tradisional Toraja.
Kewajiban melaksanakan tradisi Mangrara Banua adalah tugas bagi seluruh keturunan dari Tongkonan sebagai pengabdian terhadap Tongkonan keluarga. Upacara Mangrara Banua terbagi atas empat tingkatan.
Berikut tingkatan upacara Mangrara Banua:
Mapadao para', yaitu pelaksanaan pemasangan atap rumah dengan kurban satu atau dua ekor babi sebagai lauk pauk
Mangrara banua disangngalloi, ritual ini dilakukan di mana seluruh keluarga Tongkonan membawa kurban babi dan makanan sebagai tanda selesainya pembangunan rumah. Upacara dilakukan sejak pagi hingga sore hari
Mangrara banua di talung alloi adalah upacara syukuran rumah yang dilakukan selama tiga hari berturut-turut.
Upacara Mangrara Banua di tallung alloi dilakukan dengan tingkatan acara, yakni:
Hari pertama dilakukan ma'tarampak yaitu pemasangan atap-atap kecil.
Hari kedua disebut ma'papa atau allo matanna (hari puncak), dimana seluruh keluarga datang berbondong-bondong dengan membawa babi dan makanan,
Hari ketiga disebut ma'bubung sebagai tanda bahwa rumah sudah selesai dan akan dipasangkan bubungan Tongkonan.