Pandemi COVID-19 memunculkan banyak ide kreatif untuk memperkenalkan kawasan wisata alam secara virtual. Pandemi juga menjadi momen untuk mengatur ulang pengelolaan wisata alam agar lebih ramah lingkungan dan rendah emisi gas rumah kaca (GRK).
Demikian terungkap pada Diskusi Pojok Iklim dengan tema “Wisata Alam Virtual di Masa Pandemi”, Rabu (14/4/2021). Diskusi diselenggarakan oleh Dewan Pertimbangan Pengendalian Perubahan Iklim (DPPPI) Kementerian Lingkungan Hidup dan Kehutanan (KLHK).
Diskusi yang dipandu oleh Kepala Sub Direktorat Pemanfaatan Jasa Lingkungan Wisata Alam, Badi’ah dihadiri oleh sekitar 250 peserta yang terdiri dari Kementerian/Lembaga, organisasi non-pemerintah, perguruan tinggi, sektor privat dan individu.
Ketua DPPPI KLHK, Sarwono Kusumaatmadja menyatakan bahwa di masa pandemi COVID-19, kita berada pada suasana yang sangat dilematis. Pembatasan aktivitas dan pergerakan harus dilakukan untuk mencegah penyebaran virus. Namun hal itu berdampak pada kemunduran ekonomi termasuk di bidang wisata.
Padahal, Indonesia memiliki banyak destinasi wisata alam unggul kelas dunia. Adanya teknologi informatika memberikan jalan keluar, yaitu berupa wisata virtual.
“Melalui wisata virtual kita dapat menyaksikan keindahan alam, keanekaragaman hayati, sehingga bisa membangkitkan afinitas merasa dekat dengan alam yang merupakan suatu sikap penting yang perlu ditumbuhkan untuk pembangunan berkelanjutan. Wisata virtual akan menjadi marketing tool atau pemicu peningkatan wisata di masa normal baru,” tuturnya.
Strategi
Direktur Pemanfaatan Jasa Lingkungan Hutan Konservasi KLHK, Nandang Prihadi menjelaskan akibat pandemi COVID-19, wisata alam ke kawasan konservasi ditutup untuk meminimalisir penyebaran COVID-19, menghindari kerumunan dan mengurangi mobilitas.
Penutupan wisata alam ini menyebabkan terhentinya operasional pelaku usaha wisata alam, hilangnya potensi Penerimaan Negara Bukan Pajak (PNBP) dan berkurangnya perputaran ekonomi dari kegiatan wisata alam di kawasan konservasi.
Namun demikian, Nandang mengatakan, dengan adanya pandemi berdampak positif bagi alam, dan memberikan waktu untuk alam beristirahat dari hiruk pikuk pengunjung, dan pemulihan ekosistem secara alami.
“Tren wisata kedepan memiliki strategi 3C,” katanya.
Strategi itu adalah Community, Commodity dan Conservation. Commodity, yaitu bagaimana agar tidak tergantung pada Taman Nasional (TN) atau Taman Wisata Alam (TWA) tetapi harus ada alternatif obyek daya tarik wisata alam di sekitar TN dan TWA, karena akan ada pemberlakuan kebiasaan baru yang lebih ketat.
Kemudian Conservation di TN atau TWA seperti pembatasan wisata massal. Selanjutnya Community atau masyarakat perlu disiapkan dalam menghadapi kebiasaan baru.
Sementara itu, Kepala Balai Taman Nasional Tanjung Puting (TNTP), Murlan Dameria Pane menyatakan untuk merespons PSBB, TNTP membuat video untuk mengobati kerinduan para calon pengunjung, tentang bagaimana cara mengunjungi TNTP dengan kebiasaan baru.
“Virtual Tour mungkin tidak bisa sama dengan kunjungan fisik. Namun dapat mengobati rasa rindu kita terhadap objek wisata alam,” ujar Murlan.
Co-founder Jagaddhita dan ‘Perkumpulan’ untuk Interpretasi Indonesia (‘P’InterIn), Wiwien T. Wiyonoputri mengungkapkan virtual tour memiliki spektrum, layaknya warna. Dari spektrum bentuk pengalaman, Virtual Tour tidak menggantikan pengalaman wisata yang sesungguhnya, namun bermanfaat bagi banyak orang dan tempat dengan keterbatasan.
“Dari spektrum karakter acara, Virtual Tour itu engaging dan interpretif, yang sangat memikat serta melibatkan pengunjungnya,” tambahnya.
Founder Sebumi, Iben Yuzenho mengatakan konservasi tidak harus dilakukan di tempat yang jauh dan pesan tersebut bisa disampaikan dengan mendorong perubahan gaya hidup. Ekowisata sebagai bagian layanan ekosistem di kawasan konservasi bertumpu pada keseimbangan pengelolaan ekologis dan sosiologis. Aktivitas ekowisata di kawasan konservasi harus memperkuat fungsi dasar perlindungan dan pengawetan yang dimanifestasikan dalam pesan konservasi.
“Virtual Tour merupakan media alternatif penyampaian pesan konservasi yang efektif dan efisien dalam bentuk promosi dan edukasi interpretasi alam, budaya dan inisiatif keberlanjutan di destinasi ekowisata,” terangnya.
Perubahan Iklim
Founder Indonesia Ecotourism Network, Ary S. Suhandi menyatakan perubahan iklim itu nyata dan sesuatu yang sangat penting untuk disikapi. Pariwisata memiliki faktor eksternal yang sangat mempengaruhi, dimana perubahan iklim menjadi faktor utama disamping faktor lain seperti bencana alam, penyakit menular, konflik sosial/politik dan terorisme.
“Pariwisata bukan hanya sebagai ‘korban’ pemanasan global, namun pariwisata juga ikut berkontribusi pada masalah ini. Berdasarkan data Nature Climate Change (2018) yang disadur dari Sustainable Tourism International, pariwisata bertanggung jawab atas 8% emisi karbon dunia,” jelasnya.
Ary menambahkan, Virtual Tour tidak hanya menyajikan sebuah perjalanan wisata ke destinasi yang ditawarkan, akan tetapi juga dapat menjadi sarana untuk mengedukasi peserta tentang masalah lingkungan, konservasi dan sosial, juga penggalangan dana perbaikan lingkungan. Isu-isu perubahan iklim dan pengelolaan kawasan konservasi merupakan konten yang menarik untuk dikemas dan disampaikan ke pemirsanya.